About Me

My photo
tak ingin melewati usia ke-27 tanpa kesuksesan.....

Followers

Total Pageviews

Sunday, April 25, 2010

│ NATIONAL JOURNAL Economy - Finance - Business

│ NATIONAL JOURNAL Economy - Finance - Business


Forestry Economic growth dropped 30-fold
Forestry sub-sector economic growth in the first quarter of 2009 dropped 30-fold compared to the quarter-IV in 2008, from minus 0.53 percent to minus 16.07 percent. "This follows the trend of economic growth in the forestry sub-sector in the first quarter in the last three years (2006-2008)," said Vanda Mutia Dewi, National Coordinator Greenomics Indonesia in its official statement in Jakarta, yesterday.

Vanda said the economic growth rate of minus 16.07 percent was obtained based on the value growth of Gross Domestic Product (GDP) of the forestry sub-sector in 2000 constant prices in the period fourth quarter 2008 and first quarter 2009. Value each quarter Rp4, 3 trillion and Rp3, 61 trillion.

According to him, this shows for the first quarter-2009 has been no decrease in the formation of the production value of goods and services from these sub-sectors amounted to Rp692 billion.

He said, if you use the forestry sub-sector GDP value at current prices, during the first quarter-2009, the settlement was reached Rp1, 53 trillion to Rp9, 55 trillion.

Economic growth in the forestry subsector positive return every second quarters during the last three years. Dijelasakannya, theoretically, these conditions show the added value of goods and services produced from the forestry sub-sector began to move. However, in the third quarter economic growth of the forestry sub-sector re-minus. "Except in the third quarter of 2008 and which is positive. Economic growth in this subsector returned minus the fourth quarter," he revealed.
He mentioned, movement of the forestry sub-sector economic growth during the last three years have similar characteristics with a repeating pattern. The audit report Audit Agency (BPK) shows the findings of manipulation of timber felled. According to him, is clearly detrimental to the manipulation mode recording of the forestry sub-sector contribution to GDP.

Vanda said the forestry sub-sector economic growth minusnya allegedly can not be separated from the practice of manipulation of timber felled. As proof, the forestry sub-sector economic growth during 2006 to 2008 continued to decline.

"As long as this practice is not addressed comprehensively, the forestry sub-sector economic growth will not achieve a cumulative positive effect on every year. Although the forestry business climate improved," he said.

He said it asked the Ministry of Forestry needs to explore the practice of manipulation of the timber harvest. According to him, should not continue to damage forests, but economic growth also contributed by the forestry sub-sector continued to plunge. "It's because they do not leak her name listed in the forestry sub-sector GDP," said Vanda.



JURNAL NASIONAL │ Ekonomi - Keuangan - Bisnis


Pertumbuhan Ekonomi Kehutanan Anjlok 30 Kali Lipat
PERTUMBUHAN ekonomi subsektor kehutanan pada triwulan I-2009 anjlok 30 kali lipat dibanding triwulan -IV 2008, dari minus 0,53 persen menjadi minus 16,07 persen. "Ini mengikuti tren pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan pada triwulan I dalam tiga tahun terakhir (2006-2008)," kata Vanda Mutia Dewi, Koordinator Nasional Greenomics Indonesia dalam keterangan resminya di Jakarta, kemarin.

Vanda mengatakan, angka pertumbuhan ekonomi sebesar minus 16,07 persen tersebut diperoleh berdasarkan pertumbuhan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari subsektor kehutanan harga konstan tahun 2000 pada periode triwulan IV 2008 dan triwulan I 2009. Nilai masing-masing triwulan sebesar Rp4,3 triliun dan Rp3,61 triliun.

Menurutnya, hal ini menunjukkan selama triwulan I-2009 telah ada penurunan pembentukan nilai produksi barang dan jasa dari subsektor tersebut sebesar Rp692 miliar.

Dia mengatakan, jika menggunakan nilai PDB subsektor kehutanan pada harga berlaku, selama triwulan I-2009, penurunannya mencapai Rp1,53 triliun menjadi Rp9,55 triliun.

Pertumbuhan ekonomi pada subsektor kehutanan kembali positif setiap triwulan II selama tiga tahun terakhir. Dijelasakannya, secara teoritis, kondisi tersebut menunjukkan nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan dari subsektor kehutanan mulai bergerak. Namun, pada triwulan III pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan kembali minus. "Kecuali pada triwulan III tahun 2008 lalu yang memang positif. Pertumbuhan ekonomi subsektor ini kembali minus pada triwulan IV," katanya mengungkapkan.
Disebutkannya, pergerakan pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan selama tiga tahun terakhir memiliki karakteristik yang mirip dengan pola yang berulang. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan temuan-temuan manipulasi tebangan kayu. Menurutnya, modus manipulasi tersebut jelas merugikan pencatatan kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB.

Vanda mengatakan, minusnya pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan diduga kuat juga tidak terlepas dari adanya praktik manipulasi tebangan kayu. Sebagai bukti, pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan selama 2006 hingga 2008 terus menurun.

"Sepanjang praktik ini tidak ditangani secara komprehensif, maka pertumbuhan ekonomi subsektor kehutanan tidak akan mencapai positif secara kumulatif pada setiap tahun berjalan. Walaupun iklim bisnis kehutanan diperbaiki," katanya.

Dia mengatakan, pihaknya meminta Menteri Kehutanan perlu menelusuri praktik manipulasi tebangan kayu tersebut. Menurutnya, jangan sampai hutan terus rusak, tapi pertumbuhan ekonomi yang disumbangkan oleh subsektor kehutanan juga terus anjlok. "Ini kan namanya kebocoran karena tidak tercatat dalam PDB subsektor kehutanan," kata Vanda.

Negeri Kaya Tambang Miskin Batubara

Negeri Kaya Tambang Miskin Batubara
Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek sebagaimana dipetik Kompas (5/2/2010) menceritakan keluh kesahnya tentang ironi pemanfaatan sumber daya alam (SDA) propinsi tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Anggaran DPR (4/2/2010). Ia mencontohkan, bagaimana sebuah perusahaan tambang batubara di propinsi tersebut setiap tahunnya dapat menghasilkan batubara sebanyak 45 juta ton, tetapi pemasaran hasilnya hanya 5% untuk kebutuhan dalam negeri sedangkan 95% ditujukan untuk ekspor.
Selama ini, daerah-daerah penghasil batubara seperti Kalimanan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan justru mendapatkan pasokan batubara yang sangat minim. Propinsi Kalimantan Selatan misalnya hampir setiap hari mengalami pemadaman listrik. Padahal 25% cadangan batubara nasional ada di propinsi ini.
Eksploitasi batubara di Indonesia khususnya di Kalimatan Timur dan Kalimantan Selatan dilakukan secara “gila-gilaan”. Betapa tidak, kerakusan perusahaan tambang bahkan sampai memasuki kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto yang dikelola Universitas Mularwarman Samarinda untuk keperluan pendidikan dan penelitian. Hutan seluas 40 kali lapangan sepabola tersebut atau sekitar 20.271 hektar sedang dalam proses penghancuran. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.
Begitu pula Kalimantan Selatan, propinsi yang memiliki hamparan Pegunungan Meratus yang berisi batubara dengan jumlahnya tak terkira sedang “diperkosa” habis-habisan oleh perusahaan tambang batubara. Pegunungan Meratus yang luasnya mencapai 1,6 juta hektar mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di propinsi ini, sedangkan hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar. Dari sembilan kabupaten tersebut tujuh di antaranya sudah mengeluarkan ratusan izin pertambangan batubara dan bijih besi. Akibatnya daerah pegunungan Meratus pun mengalami kerusakan amat parah. Hutan menjadi gundul dengan danau-danau hitam ataupun kubangan-kubangan raksasa dengan diameter mencapai ratusan meter.
Negeri Kaya yang Membuang Sumber Energi
Berdasarkan data Coal Statistics, batubara merupakan primadona sumber energi dunia. Batubara menyediakan 26,5% sumber energi primer. Batubara juga menghidupkan 41,5% pembangkit listrik di seluruh dunia. Ini artinya keberadaan batubara sanga vital. Namun sangat disayangkan pemanfaatan batubara untuk kepentingan nasional dan lokal sangat dianaktirikan, sedangkan yang tersisa adalah kerusakan lingkungan dan bencana alam.
Estimasi 2008 World Coal Institute, Indonesia menempati posisi ke enam sebagai produsen batubara dunia dengan jumlah produksi mencapai 246 juta ton, peringkat pertama ditempati China dengan jumlah produksi 2.761 juta ton, disusul AS 1007 juta ton, dan India 490 juta ton, Australia 325 juta ton, Rusia 247 juta ton. Ekspotir batubara terbesar dunia ditempati Australia 252 juta ton, Indonesia peringkat kedua dengan jumlah ekspor 203 juta ton. Sedangkan China sebagai produsen batubara terbesar dunia, hanya menempati peringkat ke tujuh sebagai eksportir dengan jumlah 47 juta ton.
Data ini memiliki arti relevansi kuat terhadap kerusakan lingkungan, eksploitasi, dan minimnya pemanfaatan batubara untuk kepentingan rakyat Indonesia. Meskipun hasil batubara cukup besar setiap tahunnya namun lebih banyak ditujukan untuk pasar ekspor. Hal ini terlihat dari 246 juta ton produksi batubara, 82,52% disediakan untuk pasar ekspor sisanya baru digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Karena itu pasokan batubara untuk pembangkit listrik cukup minim. Perusahaan tambang hanya melihat di mana harga batubara yang paling menarik di situlah mereka akan memasarkan batubaranya.
Berbeda dengan Indonesia, China sebagai produsen batubara terbesar dunia yang jumlah produksinya lebih dari 11 kali produksi batubara Indonesia mengalokasikan 98,3% batubaranya untuk kepentingan dalam negeri dan hanya 1,7% yang diekspor.
Dari perbandingan pola pemanfaatan batubara tersebut, terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara Indonesia dengan China. Hasilnya, perekonomian China jauh melejit meninggalkan Indonesia. Bahkan dalam konteks ACFTA (perdagangan bebas ASEAN dengan China) yang dimulai awal tahun ini, China menjadi ancaman berat bagi perekonomian Indonesia di tengah masalah kelistrikan yang masih membelilit negeri kita. Sementara setiap tahunnya Indonesia terus “membuang” salah satu sumber energinya ini ke luar negeri.
Akar Masalah
Inilah masalah utama negara kita yang tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut.
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme. Dalam PP ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan-perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. Dan faktanya kawasan hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat melimpah.
Selain problem pemerintahan yang tidak memiliki visi untuk rakyat (laisses faire-pro Kapitalis), negara kita juga melakukan kesalahan fatal dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah dan strategis sebagai kepemilikan yang dapat dikuasai oleh swasta dan asing. Akibatnya apakah eksploitasi batubara untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, hasilnya tidak jatuh ke tangan rakyat tetapi jatuh ke tangan swasta dan asing.
Visi Syariah
Dari perspektif Syariah, tambang batubara dalam jumlah besar merupakan milik rakyat. Dalam hadist riwayat Abu Daud, disebutkan “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.” Yang dimaksud dengan api adalah sumber daya energi. Batubara termasuk sumber daya energi. Karena itu tambang batubara yang cukup besar sudah seharusnya menjadi milik bersama, yakni milik rakyat.
Larangan menguasai barang tambang yang melimpah bagi individu dipertegas oleh hadis Nabi SAW yang lain. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi).
Berdasarkan aturan Syariah tentang barang tambang tersebut, maka tambang batubara yang cukup besar (termasuk tambang minyak dan gas bumi, bijih besi, alumunium, nikel, uranium, dan lain-lainnya) merupakan milik bersama (milik umum) sehingga tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu (swasta) dan asing. Makna milik umum juga membatasi bahwa kepemilikannya tidak di tangan pemerintah/negara tetapi di tangan rakyat. Hanya saja, negara berkewajiban mengelolakan harta milik umum untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat sesuai Syariah Islam.
Dengan menyerahkan pemilikan atau penguasaan batubara ke tangan swasta dan asing yang dilakukan secara legal maupun ilegal, maka negara telah melakukan kemunkaran karena kebijakan tersebut bertentangan dengan hukum Allah. Hal ini diperparah dengan tidak adanya visi dan political will pemerintah untuk menjaga kemaslahatan rakyat termasuk di dalamnya kemandirian energi dan ekonomi. Padahal fungsi negara di dalam Islam adalah ri’ayah su’unil ummah (melayani rakyat) bukan melayani pasar (baca: investor) dan bukan juga melayani penguasa.
“Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Terbaliknya fungsi negara saat ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sia-sianya kekayaan batubara bagi rakyat. Liberalisasi ekonomi dengan memindahkan penguasaan dan pemanfaatan tambang batubara ke tangan perusahaan tambang serta membatasi peran negara hanya sebagai alat untuk melegalisasi kerakusan demi kerakusan pemilik modal adalah sebab utama hilangnya fungsi negara.
Di sinilah pengelola negara telah melakukan kecurangan dan selalu menyulitkan kehidupan rakyatnya. Tidak sedikit izin pertambangan yang mereka berikan berujung pada perburuan rente atau untuk memperkaya diri sendiri.
“Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (umat) maka Allah akan mengharamkan ia masuk ke dalam surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulan
Melayangnya batubara Indonesia disebabkan oleh tidak adanya visi batubara untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan negara, serta kesalahan fatal tata kelola ekonomi yang menyerahkan kepemilikan dan penguasaan tambang kepada pemilik modal. Hal ini terjadi karena negara menjadi subordinasi pemilik modal dan tunduk pada kepentingan-kepentingan Kapitalisme global.
Karena itu Indonesia harus memiliki visi Syariah dan mengadopsi sistem kepemilikan umum sehingga kekayaan batubara nasional dapat digunakan untuk membangun kemandirian dan kesejahteraan rakyat secara adil. Untuk mencapai tujuan tersebut, transformasi sistem harus dilakukan dari Kapitalisme-Liberalisme menjadi Syariah di bawah sistem Khilafah.

Bukti Kejahatan Korporasi Asing Berkedok HAM

Bukti Kejahatan Korporasi Asing Berkedok HAM

HAM atau yang sering dikenal dengan Hak Asasi Manusia, saat ini merupakan sebuah gagasan yang sangat populer. Ide ini meluas keseluruh penjuru dunia dan dianggap sebagai dewa penolong bagi umat manusia. Bahkan gagasan HAM sudah menjadi standar baik dan buruk bagi manusia. Segala perbuatan yang melanggar HAM dianggap tercela, sedangkan perbuatan yang sesuai dengan HAM dianggap terpuji.
Berabad-abad lamanya HAM telah mendasari ide perjuangan kemerdekaan di berbagai negara dalam menginspirasi perjuangan rakyat melawan tirani/para diktator. Tetapi, seiring berkembangnya jaman, HAM gagal sebagai spirit perjuangan rakyat terhadap kedzaliman, penindasan, dan kediktatoran. Bahkan lambat laun, secara konsepsi maupun realitanya banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan dibalik ide HAM.
Pelaksanaan the Universal Declaration of Human Rights (UDHR) sering menggunakan standar ganda. Korporasi besar (MNCs) lewat aktivitasnya yang merusak lingkungan, menteror manusia, menjarah kekayaan alam sebuah negara, bahkan sering memberangus lembaga-lembaga yang berseberangan. Anehnya, perbuatan tersebut dibiarkan begitu saja atas nama kebebasan. Tetapi, ketika ada seseorang yang mencoba kritis terhadap kebijakan korporasi (MNCs), ia langsung diajukan ke pengadilan dan dikatakan melanggar HAM.
KONTRADIKSI HAM DALAM CENGKRAMAN KORPORASI
Kemunculan ide HAM berawal dari sebuah pandangan filsafat dan tradisi politik dalam konteks liberalisme. Liberalisme yang menjadikan kebebasan sebagai nilai politik yang utama, mempunyai akar sejarah di Eropa Barat pada abad kegelapan (The Dark Age). Nilai kebebasan menemukan puncaknya ketika Eropa mengalami era pencerahan. Kaum cendekiawan dan filosof berteriak lantang memperjuangkan dan mengagung-agungkan kebebasan demi meraih idealisme kebahagian umat manusia.
Dalam konteks sosial-kemasyarakatan, liberalisme menyakini bahwa individu-individu yang bebas merupakan pondasi masyarakat yang baik. Hal ini merupakan buah pikiran Locke yang tertuang dalam Two Treatises on Governement (1690), yang berbicara perihal dua konsep dasar kebebasan: (1) kebebasan ekonomi, yaitu hak untuk memiliki dan menggunakan kepemilikan; (2) kebebasan intelektual, di dalamnya termasuk kebebasan berpendapat. Pemikiran khas empirisme dari Locke inilah yang menjadi pelopor lahirnya konsepsi modern HAM.
Gagasan tersirat dari ide ini menegaskan bahwa manusia akan menemukan eksistensinya ketika diberi kebebasan dalam hidupnya. Dengan akalnya, manusia akan mampu menggunakan kebebasannya secara optimal dalam berkreasi dan berekspresi. Disamping itu, kebebasan individu akan dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga akan memunculkan balance (keseimbangan). Maka dari itu siapapun boleh hidup dengan mengatasnamakan kebebasan dirinya.
Dalam implementasinya, ide kebebasan HAM banyak kontradiksinya. Individu, masyarakat, dan negara yang mengatasnamakan kebebasan HAM justru menimbulkan banyak kerusakan dan konflik sosial. Semakin HAM diterapkan oleh semua pihak, semakin menimbulkan banyak virus yang menghancurkan kehidupan manusia. Beberapa kontradiksi yang muncul pada kebebasan dalam HAM antara lain;
Pertama, HAM mendorong manusia untuk serakah dan membunuh manusia lain secara sistematis. Dengan adanya kebebasan ekonomi dalam konteks kebebasan kepemilikan yang dilandasi rasa ingin memiliki kekayaan sebesar-besarnya. Manusia akan berpikir bagaimana mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Prinsipnya cukup sederhana, mengumpulkan kekayaan merupakan hak asasi manusia, maka orang akan berpikir seribu satu cara untuk meraup untung sebesar-besarnya, walaupun cara yang dia tempuh merugikan banyak orang.
Logika inilah yang diterapkan oleh korporasi multinasional (MNCs). Demi melaksanakan hak asasi manusianya dalam meraup keuntungan, para korporasi ini akhirnya tidak mempedulikan berapa nyawa sekalipun yang sudah jadi tumbalnya. Sebut saja korporasi bernama ‘Merck’, perusahaan ini tercatat telah mengakibatkan tercabutnya 55.000 orang meninggal dunia. Adalah Dr. David Graham, pegawai pada Unit Keamanan Obat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration, FDA) yang kesaksiannya sebelum rapat komite senat mengguncangkan publik AS. Riset Graham mencatat sekitar 88.000 sampai 139.000 orang di AS menderita serangan jantung atau stroke akibat meminum obat radang sendi Vioxx buatan Merck. “Sekitar 40 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 35.000-55.000 orang, meninggal”, kata Graham.
Kedua, Dengan menggunakan HAM, korporasi multinasional tersebut melancarkan isu berkeinginan membantu beberapa negara berkembang. Membantu dalam menyelesaikan problem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini belum optimal. Tetapi keyataannya, hal ini hanya merupakan kedok semata untuk bisa merampok kekayaan alam yang ada pada sebuah negara.
Korporasi multinasional (MNCs) ini akhirnya merampok kekayaan SDA di wilayah negara-negara berkembang. Adanya eksploitasi SDA yang rakus, membawa dampak pada pemiskinan dan penderitaan global rakyat kecil. Ujung-ujungnya kekayaan berkumpul hanya pada segelintir orang saja. Contoh yang sangat nyata terjadi di negeri kita, dimana beberapa korporasi asing telah menjarah, menguasai, mengeksploitasi kekayaan alam. Sedangkan negeri Indonesia di telantarkan dalam kondisi yang serba kekurangan.
Dari hasil perampokan mereka mengatasnamakan HAM, mereka mendapatkan banyak sekali keuntungan finansial. Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.
Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.
Berkuasanya korporasi di beberapa negara berkembang sering menimbulkan kemiskinan secara kolektif dengan berkumpulnya harta segelintir orang kaya saja. Hasil penelitian oleh Prof Robert Reich, guru besar dari Harvard University yang pernah menjabat menteri perburuhan pemerintahan Presiden Clinton. Dia mengatakan bahwa dalam dunia yang sudah tanpa batas atau the borderless world, memang ada yang menikmati dan menjadi sangat kaya raya.
Ketiga, Oleh korporasi multinasional, HAM dijadikan senjata untuk merusak dan mencemari lingkungan. Dengan dalih bahwa mereka punya kebebasan dalam mengelola sebuah usaha/perusahaan tanpa diganggu pihak lain, maka apapun dampaknya merupakan suatu hal yang biasa dalam berusaha/bisnis.
Termasuk dampak yang ditimbulkan berupa pengrusakan dan pencemaran lingkungan, mereka merasa bahwa hal tersebut tidak masalah. Untuk pembenahan kerusakan lingkungan tersebut tanggung jawab pemerintah, padahal mereka (MNCs) yang menimbulkan kerusakan lingkungan.
Laporan 6 Nopember 2009 dari Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun terakhir. Atas nama pembangunan, kekayaan pulau Sumatera dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.
Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan dataran tinggi hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau. Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan PT RAPP, IKPP dan anak anak perusahaannya . Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat sejak Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang.
AYO… KAUM MUSLIMIN !!!
Maka dari ketiga realita tersebut, sebenarnya menggambarkan bahwa HAM telah menjebak umat manusia dalam berbagai macam penindasan. Tentu saja dengan adanya wajah baru penindasan via HAM, dunia akan di isi oleh manusia-manusia yang tidak bermoral. Kondisi duniapun berubah menjadi tatanan sosial yang penuh dengan tipu muslihat dan konflik manusia secara makro seperti saat ini.
Adanya kerusakan HAM yang dideklarasikan PBB dari mulai ide dan implementasinya, maka sudah saatnya HAM disingkirkan jauh-jauh dari kehidupan umat manusia. Semakin banyak manusia meninggalkan HAM berarti satu langkah maju untuk melawan dan menolak liberalisme berkedok kebebasan. Banyaknya manusia menolak HAM berarti telah membela umat manusia untuk lepas dari berbagai kedzaliman dan penindasan oleh para korporasi.